Aksi Seribu Lilin untuk Prada Lucky Namo, Korban Diduga Perundungan Senior di NTT
![]() |
Aksi Seribu Lilin untuk Prada Lucky Namo |
Kupang, NTT – Ratusan warga menggelar aksi doa bersama dan menyalakan seribu lilin untuk mengenang Prada Lucky Chepril Saputra Namo, prajurit TNI yang meninggal dunia usai diduga menjadi korban perundungan oleh seniornya.
Aksi solidaritas ini digelar di beberapa titik di Nusa Tenggara Timur, termasuk di halaman rumah duka, sebagai bentuk duka dan keprihatinan atas kejadian yang menimpa putra daerah tersebut.
Di Kupang dan sejumlah kota di NTT, aksi “1000 Lilin untuk Prada Lucky” digelar serentak. Warga, aktivis, hingga komunitas pemuda hadir untuk menunjukkan simpati sekaligus menuntut keadilan. Banyak yang berharap kasus ini menjadi momentum perbaikan serius dalam tubuh militer.
“Lucky adalah anak daerah yang punya cita-cita besar. Kami ingin kematiannya tidak sia-sia dan bisa membawa perubahan,” ujar salah satu peserta aksi doa bersama.
Kronologi Kejadian
Lucky Namo, prajurit muda yang bertugas di Batalyon Teritorial Pembangunan 834 Waka Nga Mere, Nagekeo, sebelumnya dilaporkan mengalami tindak kekerasan berulang dari seniornya. Ia sempat mendapatkan perawatan medis, namun nyawanya tidak tertolong. Kabar ini memicu gelombang kesedihan sekaligus kemarahan dari masyarakat dan keluarga besar TNI.
Kecaman dan Tuntutan Evaluasi
Kasus ini langsung mendapat sorotan nasional. Anggota Komisi I DPR, Andina Narang, menegaskan bahwa praktik perundungan di tubuh TNI harus dihentikan. Menurutnya, kematian Prada Lucky bukanlah kasus pertama, melainkan bagian dari siklus kekerasan yang diwariskan lewat doktrin “pendisiplinan fisik”.
“Budaya seperti ini harus segera dihapus. Reformasi internal TNI wajib dilakukan agar tidak ada lagi prajurit muda yang kehilangan nyawa sia-sia,” tegasnya.
Pandangan Psikolog
Psikolog klinis Maharani Octy Ningsih menilai kasus perundungan di lingkungan militer bukan hanya masalah individu, tetapi berakar dari budaya organisasi yang kaku. Menurutnya, relasi kuasa yang timpang antara senior dan junior seringkali menciptakan ruang penyalahgunaan wewenang.
“Dalam sistem yang sangat hierarkis, junior biasanya tidak berdaya untuk menolak atau melawan perintah senior, meskipun perintah itu mengandung kekerasan. Situasi ini membuat bullying dianggap sebagai hal yang wajar atau bagian dari proses pendewasaan,” ujarnya.
Maharani menambahkan bahwa efek perundungan tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis mendalam. Prajurit yang menjadi korban kerap kehilangan rasa percaya diri, mengalami kecemasan, hingga depresi. Lebih parah, mereka bisa mengalami learned helplessness — kondisi di mana korban merasa tidak berdaya dan akhirnya menyerah pada keadaan.
“Ketika perundungan dibiarkan, ada risiko besar terjadinya siklus kekerasan. Korban yang selamat dari perlakuan keras bisa jadi akan mengulanginya kepada generasi setelahnya, karena menganggap itu sebagai tradisi atau bagian dari pendidikan militer,” jelasnya.
Ia menegaskan perlunya pendekatan baru dalam pendidikan militer, yaitu mengganti praktik kekerasan dengan pelatihan kepemimpinan berbasis empati, komunikasi, dan kerja sama tim. Dengan begitu, prajurit tidak hanya tangguh secara fisik, tetapi juga matang secara mental dan emosional.
“Jika TNI ingin melahirkan pasukan yang kuat dan profesional, maka harus ada transformasi paradigma. Disiplin tidak harus dibangun dengan kekerasan, melainkan dengan rasa hormat dan tanggung jawab,” tutup Maharani.
Tindak Lanjut Hukum
Pihak TNI bersama aparat penegak hukum militer bergerak cepat setelah kasus kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo mencuat ke publik. Berdasarkan keterangan resmi, empat prajurit senior telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka kini ditahan di Subdenpom IX/1-1 Ende, Flores, untuk menjalani proses pemeriksaan mendalam.
Selain empat tersangka utama, penyidik militer juga memeriksa 16 prajurit lain yang diduga mengetahui, terlibat, atau berada di lokasi saat tindakan kekerasan terjadi. Menurut pejabat Denpom, pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan apakah ada praktik pembiaran atau kelalaian dari komando yang lebih tinggi.
Kasus ini akan diproses sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Jika terbukti bersalah, para pelaku dapat dikenai pasal terkait penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian dengan ancaman hukuman penjara panjang, bahkan pemecatan dari dinas militer.
Juru bicara TNI menegaskan bahwa institusi tidak akan menoleransi praktik perundungan yang mencoreng nama baik kesatuan. “Kami pastikan proses hukum berjalan transparan. Setiap prajurit yang bersalah akan dihukum setimpal, tanpa pandang bulu. Ini komitmen kami untuk menegakkan disiplin dan keadilan,” tegasnya dalam konferensi pers.
Tidak hanya itu, Mabes TNI juga membentuk tim investigasi independen yang melibatkan Polisi Militer Angkatan Darat (Puspomad) dan auditor internal. Tim ini diberi mandat untuk menelusuri apakah kasus perundungan terhadap Prada Lucky hanyalah insiden tunggal, atau bagian dari pola kekerasan sistematis di dalam satuan.
Sementara itu, pihak keluarga korban melalui kuasa hukumnya menyatakan akan mengawal proses hukum hingga tuntas. Mereka menuntut agar kasus ini tidak berhenti pada pelaku lapangan saja, melainkan juga menyentuh rantai komando jika terbukti lalai mengawasi. “Keadilan bagi Lucky harus ditegakkan. Jangan ada lagi prajurit muda yang dikorbankan atas nama disiplin,” ujar perwakilan keluarga.
Gelombang Solidaritas
Desakan serupa datang dari organisasi masyarakat sipil dan pegiat HAM di NTT. Mereka menekankan bahwa penyelesaian kasus ini harus dijadikan momentum untuk reformasi pendidikan militer, terutama dengan menghapus doktrin pendisiplinan fisik yang berlebihan.
Dengan sorotan publik yang semakin kuat, banyak pihak berharap agar penanganan hukum atas kematian Prada Lucky benar-benar menjadi contoh bahwa TNI serius menindak praktik perundungan. Proses hukum yang transparan.
Post a Comment