INDONESIA LEBIH GILA DARI ONE PIECE? ARC TERAKHIR BIKIN NETIZEN DEMAM!

Table of Contents
Ketika Fiksi One Piece Terlalu Mirip dengan Realita Indonesia
Ilustrasi: Ketika Fiksi One Piece Terlalu Mirip dengan Realita Indonesia. Fto ai (fighazmc prom)

Ketika Fiksi One Piece Terlalu Mirip dengan Realita Indonesia

Kupang - Bagi para pecinta anime, One Piece bukan sekadar tontonan. Ini adalah kisah epik yang memadukan petualangan, drama, humor, hingga kritik sosial. Selama lebih dari dua dekade, Eiichiro Oda berhasil menciptakan dunia imajinatif yang begitu kompleks, lengkap dengan tokoh-tokoh ikonik, konflik politik, perebutan sumber daya, dan pertarungan melawan ketidakadilan.

Namun belakangan, netizen Indonesia punya kesimpulan unik: kisah One Piece terasa terlalu dekat dengan realita negeri ini. Arc demi arc dalam anime itu, entah kebetulan atau memang cerminan kehidupan, punya kemiripan mencolok dengan peristiwa di Tanah Air. Dari kasus hukum yang janggal, pungutan liar, konflik tanah adat, oligarki tambang, hingga fenomena elit kebal hukum — semua seperti déjà vu.

Lalu, kalau benar Indonesia sedang menjalani arc One Piece-nya sendiri, pertanyaannya sederhana tapi menggelitik: siapa Luffy kita?.

Luffy Simbol Perlawanan di Tengah Badai

Monkey D. Luffy bukan hanya karakter utama. Ia adalah simbol perlawanan terhadap penguasa lalim. Ia bukan pahlawan sempurna — kadang ceroboh, kadang keras kepala — tapi satu hal yang tak pernah berubah adalah keberaniannya membela yang lemah.

Di dunia nyata, figur seperti ini langka. Butuh keberanian untuk melawan sistem yang mapan, apalagi jika sistem itu dikendalikan oleh kelompok kuat dengan kekuasaan politik dan ekonomi yang hampir absolut. Luffy tak pernah takut kehilangan nyawa demi membela teman-temannya. Pertanyaannya: apakah di Indonesia ada tokoh yang siap mengambil risiko sebesar itu demi rakyat?

Beberapa netizen bercanda, “Kalau ada Luffy di Indonesia, pasti dia kena pasal makar,” tapi gurauan itu punya nada serius. Perlawanan terhadap ketidakadilan sering kali dibungkam sebelum sempat berkembang.

Puffing Tom vs Kasus Tom Lembong

Puffing Tom vs Kasus Tom Lembong
Puffing Tom vs Kasus Tom Lembong

Dalam arc Water 7, kita bertemu Tom, seorang tukang kapal legendaris. Tom membangun kapal untuk Gol D. Roger, Raja Bajak Laut, dan meskipun jasanya untuk dunia tak terbantahkan, ia tetap dijatuhi hukuman mati. Alasannya? Hubungannya dengan “musuh” pemerintah.

Di Indonesia, cerita ini mengingatkan publik pada kasus Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang ditangkap dengan tuduhan korupsi. Bagi sebagian orang, penangkapan ini terasa seperti kisah Tom di One Piece: sosok berprestasi yang tiba-tiba terseret arus politik.

Paralelnya jelas: ketika hukum digunakan bukan semata untuk menegakkan keadilan, tapi juga untuk memberangus lawan politik, maka siapapun — bahkan yang berjasa — bisa terjerat.

Arlong Park: Pungli dan Pemerasan yang Nyata

Arlong Park: Pungli dan Pemerasan yang Nyata
Arlong Park: Pungli dan Pemerasan yang Nyata

Arc Arlong Park menceritakan bagaimana Arlong, bajak laut manusia ikan, memeras warga desa Kokoyashi. Mereka dipaksa membayar “uang keamanan” meski jelas-jelas tidak bersalah.

Fenomena ini terdengar akrab bagi masyarakat Indonesia. Laporan pungutan liar (pungli) masih sering muncul di berita. Ada cerita tentang sopir yang hasil tes urinenya negatif narkoba, tapi tetap diminta “uang damai” oleh oknum aparat.

Bedanya, kalau di anime Luffy bisa datang memukul Arlong sampai kalah, di dunia nyata melawan pungli sering kali justru berujung pada ancaman atau pembalasan.

Skypiea dan Konflik Tanah Adat

Skypiea dan Konflik Tanah Adat
Skypiea dan Konflik Tanah Adat

Arc Skypiea menggambarkan konflik antara suku Shandia dan penduduk Skypiea. Intinya sederhana: perebutan tanah yang kaya akan sumber daya, yakni Pulau Jaya dan Gunung Emas.

Di Indonesia, kisah ini nyata di Papua, Sumatera, dan beberapa wilayah lain. Tambang emas Grasberg di Papua misalnya, menjadi salah satu sumber daya alam terbesar di dunia. Namun, manfaat ekonominya lebih banyak mengalir ke perusahaan besar dan pemerintah pusat ketimbang ke masyarakat adat yang sudah tinggal di sana selama ratusan tahun.

Seperti di Skypiea, masyarakat asli sering kali dianggap “penghalang pembangunan” dan diusir dari tanahnya sendiri. Konflik ini bukan sekadar soal uang, tapi soal identitas dan hak hidup.

Kaido dan Oligarki Industri

Kaido dan Oligarki Industri
Kaido dan Oligarki Industri

Masuk ke arc Wano, kita bertemu Kaido, sosok antagonis yang menguasai tambang dan memaksa rakyat bekerja untuk memproduksi SMILE — senjata dalam bentuk buah iblis buatan. Ia memonopoli sumber daya, menguras tenaga kerja, dan merusak lingkungan demi kepentingannya sendiri.

Paralelnya di Indonesia terlihat jelas dalam industri tambang dan energi. Oligarki industri menguasai sumber daya alam, dari batu bara hingga nikel, sementara masyarakat sekitar tambang hidup dalam kemiskinan dan lingkungan yang rusak.

Kaido di Wano punya pasukan bajak laut dan samurai bayaran. Di dunia nyata, oligarki punya jaringan politik, aparat, dan regulasi yang sering kali dibuat demi keuntungan mereka.

Tenryuubito: Elit Kebal Hukum

Tenryuubito: Elit Kebal Hukum
Tenryuubito: Elit Kebal Hukum

Tenryuubito adalah “naga langit” di dunia One Piece — kasta tertinggi yang hidup di atas hukum. Mereka bisa melakukan apa saja, dan siapa pun yang berani menentang akan dihukum berat.

Fenomena ini sering disamakan dengan elit politik atau pengusaha besar di Indonesia yang terkesan kebal hukum. Ada kasus besar yang menyeret nama mereka, tapi jarang sekali berujung pada vonis yang setimpal.

Netizen kerap menyindir, “Kalau rakyat biasa nyolong ayam masuk penjara, kalau elit nyolong miliaran malah jadi headline lalu menghilang.” Analogi Tenryuubito menjadi sindiran yang pas untuk menggambarkan kesenjangan hukum ini.

Resonansi dengan Publik: Humor, Satire, dan Frustrasi

Yang menarik, perbandingan One Piece dan realita Indonesia ini tidak lahir dari analis politik, melainkan dari netizen biasa. Komentar mereka di media sosial sering kali memadukan humor gelap, satire, dan frustrasi.

Ada yang bilang, “Indonesia vs rakyatnya adalah arc paling panjang,” atau “Pejabat yang dulu vokal soal HAM sekarang jadi Tenryuubito.” Bahkan ada yang memakai istilah dari One Piece, seperti “kena cium Ivankov” untuk menyindir pejabat yang berubah sikap setelah berkuasa.

Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya pop bisa menjadi bahasa bersama untuk membicarakan isu serius dengan cara yang lebih mudah dicerna.

Fiksi yang Lebih Nyata dari Realita

One Piece memang fiksi, tapi arc-arc-nya membungkus pelajaran hidup yang pahit. Kekuasaan bisa korup, hukum bisa timpang, dan sumber daya bisa menjadi alasan perang. Di sisi lain, kisah ini juga mengajarkan bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika ada yang berani melawan.

Indonesia mungkin belum punya Luffy, tapi bukan berarti arc kita akan berakhir buruk. Mungkin saja, di luar sana ada sosok atau gerakan yang akan menjadi “Bajak Laut Topi Jerami” versi Indonesia.

Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa berharap — dan terus mengingat bahwa laut yang kita layari sama luas dan berbahayanya dengan Grand Line.

Kupang Digital
Kupang Digital Blog Kupang Digital - East Nusa Tenggara

Post a Comment