Viral! “Jangan Bandingkan Kami Dengan Rakyat Jelata” — Rakyat Dihina Pejabat, Gaji UMR Mau Dipotong 3%

Table of Contents
Viral! “Jangan Bandingkan Kami Dengan Rakyat Jelata” — Rakyat Dihina Pejabat, Gaji UMR Mau Dipotong 3%
Ilustrasi: Wawancara Dalam Ruangan Studio: Viral! “Jangan Bandingkan Kami Dengan Rakyat Jelata” — Rakyat Dihina Pejabat, Gaji UMR Mau Dipotong 3%. @Ai

Kupang, Jakarta - Sebuah pernyataan pedas — "Jangan bandingkan kami dengan rakyat jelata" — yang terlontar dari mulut anggota dewan dari PDIP Dedy Sitorus dalam acara Info Bimantara Metro TV, menjadi viral dan bagai gempa yang mengguncang rasa keadilan jutaan rakyat. Kalimat yang dianggap penuh arogansi ini bukan hanya menghina martabat rakyat, tetapi juga memantik amarah yang sudah lama tertanam.

Kemarahan ini semakin menjadi ketika kabar tentang rencana pemotongan gaji UMR sebesar 3% untuk program Tapera atau JKP beredar luas. Rakyat kecil yang sehari-hari berjuang dengan gaji UMR, seperti guru honorer, buruh pabrik, dan ojek online, merasa dijarah secara ekonomi setelah dihina secara moral. Mereka yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti nasi bungkus dan bayar kontrakan kini diancam dengan potongan yang bagi mereka sangat berarti.

Artikel ini menelusuri kronologi viralnya pernyataan kontroversial tersebut, dari sebuah Reels Instagram yang mendapat 69 ribuan like hingga menjadi tagar #RakyatBukanJelata. Kami juga mengupas tuntas fakta atau hoaks di balik isu pemotongan gaji dan klarifikasi resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan yang berusaha meredam ketidakpercayaan publik.

Lebih dalam lagi, kami mengungkap ironi yang terjadi: di saat rakyat diguncang isu pemotongan, gaji DPR justru naik. Fenomena ini memperlebar kesenjangan dan menunjukkan dua dunia yang berbeda dalam satu negara. Ini adalah sebuah kritik sosial tajam terhadap para anggota dewan dan wakil rakyat yang dianggap telah lupa diri dan jauh dari rakyat kecil yang mereka wakili.

Pada akhirnya, ini adalah sebuah perlawanan. Viral adalah megafon yang digunakan rakyat untuk menyuarakan keadilan dan harga diri. Ini adalah pengingat bahwa rakyat adalah berdaulat, bukan jelata, dan mereka memiliki kekuatan untuk mengingatkan para pemegang amanah melalui suara dan kotak suara.

Di Saat Rakyat Dihina, Dompetnya Malah Dijarah

Di Saat Rakyat Dihina, Dompetnya Malah Dijarah
Ilustrasi: Di Saat Rakyat Dihina, Dompetnya Malah Dijarah.@Ai

Belum reda amarah publik atas pernyataan arogansi yang keluar dari mulut pejabat publik, tiba-tiba muncul kabar yang lebih menohok dan memantik kemarahan yang lebih besar: "Gaji UMR akan dipotong 3%." Yang membuat kebijakan ini terasa seperti tamparan adalah alasan di baliknya. Potongan ini bukan untuk membayar gaji mereka yang sudah selangit, bukan untuk perbaikan jalan yang berlubang di mana-mana, dan bukan untuk subsidi listrik yang semakin memberatkan rakyat. Melainkan, untuk sebuah dana yang namanya saja masih samar dan tidak jelas—entah itu Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan), atau sebuah program baru yang mungkin bisa kita sebut "Dana Kebaikan Para Elite."

Bayangkan: Guru Honorer, Buruh, Ojol yang Diancam Potongan Gaji

Bayangkan: Guru Honorer, Buruh, Ojol yang Diancam Potongan Gaji
Ilustrasi: Guru Honorer, Buruh, Ojol yang Diancam Potongan Gaji. @Ai

Bayangkan betapa beratnya beban ini bagi rakyat kecil. Seorang guru honorer yang dengan dedikasi tinggi mengajar anak-anak bangsa hanya digaji Rp2 juta per bulan, harus rela dipotong untuk sesuatu yang mungkin tidak akan pernah dinikmatinya. Seorang buruh pabrik yang menghabiskan tenaga dan waktunya dengan lembur hingga pukul 10 malam, hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Seorang ojek online yang menghadapi terik matahari dan hujan, narik dari subuh sampai maghirb, mengejar setoran untuk bisa makan dan bayar kontrakan. Mereka inilah—pahlawan tanpa tanda jasa yang justru menjadi sasaran kebijakan yang tidak berpihak ini.

Itu Bukan Potongan, Itu Penghinaan Berulang

Bagi mereka, ini bukan sekadar potongan gaji. Ini adalah penghinaan berulang yang harus mereka tanggung. Pertama, mereka sudah dihina secara martabat melalui pernyataan yang merendahkan bahwa mereka adalah "rakyat jelata" yang tidak pantas dibandingkan dengan para elite. Kedua, mereka kembali dijarah secara ekonomi melalui kebijakan yang memotong penghasilan mereka yang sudah pas-pasan. Rakyat seolah menjadi sapi perah yang terus diperas untuk kepentingan segelintir orang, sementara mereka sendiri terus terpuruk dalam kesulitan finansial. Situasi ini semakin memperlebar kesenjangan sosial dan menunjukkan betapa kebijakan yang lahir tidak menyentuh realita yang sebenarnya.

Kami Bukan Jelata. Kami Bukan Latar. Kami Bukan Beban.

Kami Bukan Jelata. Kami Bukan Latar. Kami Bukan Beban.
Ilustrasi: Kami Bukan Jelata. Kami Bukan Latar. Kami Bukan Beban.@Ai

Dalam menghadapi pernyataan dan kebijakan yang merendahkan martabat ini, rakyat Indonesia menyatakan dengan tegas: Kami bukan jelata. Kami adalah rakyat berdaulat yang menjadi tulang punggung negara ini. Kamilah yang membayar gaji para pejabat melalui pajak yang kami setor setiap bulannya. Kamilah yang memilih mereka untuk duduk di kursi kekuasaan dengan harapan dapat membawa perubahan dan keadilan. Dan kamilah yang dengan kesabaran luar biasa menyaksikan proyek-proyek mangkrak, kasus korupsi yang terbongkar, dan janji-janji manis yang hanya menjadi bahan kampanye semata.

Ketika Kami Protes, Kami Disebut "Emosional"

Setiap kali kami menyuarakan ketidakpuasan dan melakukan protes terhadap ketidakadilan, respons yang kami terima justru stigma negatif. Kami dicap sebagai orang-orang yang "emosional" dan tidak mampu memahami kebijakan publik yang kompleks. Ketika kami menyatakan kemarahan atas kesenjangan yang semakin melebar, kami dianggap sebagai kelompok yang "tidak paham kebijakan". Dan ketika kami berani menuntut keadilan, dengan mudah kami disebut sebagai pihak yang "gampang diadu domba" oleh kepentingan politik tertentu.

Sementara Mereka? Bebas Berkata dan Hidup Mewah

Sementara Mereka? Bebas Berkata dan Hidup Mewah
Ilustrasi: Sementara Mereka? Bebas Berkata dan Hidup Mewah.@Ai

Di sisi lain, para pejabat dan anggota dewan merasa bebas melontarkan pernyataan merendahkan seperti "Jangan samakan kami" dengan rakyat biasa. Mereka hidup dalam kemewahan yang jauh dari realita kehidupan rakyat kebanyakan—naik jet pribadi, makan di restoran mewah, dan menikmati fasilitas mewah lainnya. Ironisnya, mereka tetap berani berpidato tentang "kepedulian terhadap rakyat" dan "keadilan sosial" tanpa merasa ada kontradiksi antara kata-kata dan tindakan mereka. Kesenjangan ini semakin mempertegas betapa jauh mereka dari kehidupan rakyat yang sebenarnya.

Ini Bukan Soal Gaji. Ini Soal Harga Diri.

Perdebatan yang terjadi saat ini melampaui sekadar persoalan nominal gaji atau potongan penghasilan. Ini telah menyentuh ranah yang lebih fundamental: harga diri dan martabat sebagai warga negara. Rakyat Indonesia tidak membutuhkan belas kasihan dari para penguasa, melainkan pengakuan atas eksistensi dan kontribusi mereka selama ini. Kami mendambakan rasa hormat yang tulus dari para pemimpin yang seharusnya melayani, bukan merendahkan. Kami menginginkan pemimpin yang mau turun ke bawah, duduk di warung kopi, dan merasakan langsung nasi bungkus panas yang menjadi santapan sehari-hari rakyat—bukan hanya melihat laporan kemiskinan melalui slide PowerPoint yang dipresentasikan di ruang ber-AC.

Kami Butuh Pengakuan, Bukan Belas Kasihan

Yang kami perlukan adalah pengakuan bahwa kami adalah bagian penting dari negara ini. Bahwa tanpa rakyat, tidak akan ada negara yang bisa berdiri. Bahwa kontribusi kami melalui pajak, tenaga, dan suara selama ini adalah nyata dan bermakna. Kami tidak meminta belas kasihan karena kami bukan pengemis yang mengharapkan santunan. Kami adalah warga negara yang menuntut hak-hak kami untuk diperlakukan dengan adil dan hormat. Setiap kebijakan yang lahir harusnya melindungi dan memuliakan rakyat, bukan justru menindas dan merendahkan mereka yang sudah berjuang keras untuk mempertahankan hidup.

Kronologi Viral: Dari Reels 69 Ribu Suka hingga Gempa di Dunia Nyata

Gelombang kemarahan publik ini bermula dari sebuah Reels Instagram berdurasi 47 detik yang direkam dari akun @dahlan.baleng. Video tersebut dengan jelas menangkap momen ketika Dedy Sitorus, anggota PDIP, menyatakan "Jangan bandingkan kami dengan rakyat jelata" dalam acara Info Bimantara di Metro TV. Pernyataan yang terkesan dingin dan tanpa penyesalan itu menyulut reaksi spontan dari netizen. Tidak ada klarifikasi, tidak ada tawa, hanya hening yang diikuti tepuk tangan dari sesama tamu—seolah kalimat penuh arogansi itu adalah sesuatu yang patut diacungi jempol.

47 Detik yang Mengguncang Republik

Dalam waktu singkat, video 47 detik itu menjadi virus digital yang menyebar ke seluruh penjuru jagat maya. Dari TikTok, X (dulu Twitter), hingga grup WhatsApp keluarga besar, potongan pernyataan kontroversial itu terus dibagikan dan dikomentari. Masyarakat merasa harga diri mereka diinjak-injak oleh seorang wakil rakyat yang seharusnya menjadi penyambung lidah konstituennya. Ledakan emosi kolektif ini tidak hanya mencerminkan kekecewaan terhadap individu, tetapi juga terhadap sistem yang melahirkan pejabat dengan mentalitas arogan.

69.600 Suka, 13.500 Komentar: Teriakan Kolektif Rakyat

Angka-angka seperti 69.600 like, 13.500 komentar, dan 5.231 share bukan sekadar statistik biasa. Mereka adalah bukti nyata dari kegerahan rakyat yang merasa diabaikan dan direndahkan. Komentar-komentar pedas bermunculan, mulai dari pertanyaan "Gaji UMR aja Rp3 juta, lu bilang jangan dibandingin? Lo gajinya berapa? Triliun?" hingga seruan "Kalau nggak mau dibandingin, turun aja dari jabatan. Gue gak butuh pejabat sombong!". Setiap like, komentar, dan share adalah bentuk protes dari orang-orang yang lelah menjadi korban dari kebijakan yang tidak memihak.

Tagar #RakyatBukanJelata dan Perlawanan di Medsos

Tagar #RakyatBukanJelata pun mulai trending dan menjadi wadah perlawanan simbolik. Meme dan konten satir bertebaran, mengolok-olok tingkah laku dan pernyataan para elite. Salah satu meme yang viral menggambarkan pejabat naik kereta emas sementara rakyat menarik gerobak kayu—sebuah sindiran tajam atas kesenjangan yang semakin melebar. Kartunis dan seniman digital juga ikut meramaikan dengan karya-karya yang menyoroti ironi kehidupan berbangsa. Pesannya jelas: rakyat tidak akan diam ketika martabat mereka diinjak-injak.

Dari Viral ke Realita: Diamnya Respons Resmi dan Bantahan yang Tertatih

Di tengah gemuruh kemarahan publik yang menyebar seperti api di sekam, respons resmi dari pihak-pihak terkait justru tertunda dan terkesan setengah hati. PDIP sebagai partai yang menaungi Dedy Sitorus memilih untuk diam seribu bahasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Metro TV sebagai penyelenggara acara hanya memberikan pernyataan ringan bahwa perdebatan tersebut adalah bagian dari diskusi terbuka dan dinamika talkshow. Sementara sang pejabat sendiri hingga berhari-hari kemudian belum juga memberikan klarifikasi, permintaan maaf, ataupun penjelasan yang memadai kepada publik.

PDIP? Diam. Pejabat? Tidak Ada Minta Maaf.

Keheningan dari partai dan pejabat yang terlibat justru semakin memperkeruh situasi. Rakyat yang menanti tanggung jawab moral justru disuguhi kesunyian yang terasa lebih menyakitkan daripada pernyataan pedas itu sendiri. Diamnya mereka seolah mengonfirmasi bahwa arogansi bukanlah kesalahan individu, melainkan cerminan dari budaya politik yang sudah mengakar. Di saat yang sama, Kementerian Ketenagakerjaan justru sibuk mengeluarkan bantahan terkait isu pemotongan gaji UMR 3% yang semakin liar menyebar. Mereka berusaha meyakinkan bahwa tidak ada kebijakan resmi yang memotong gaji pekerja berpenghasilan UMR, namun upaya ini terasa terlambat dan tidak menyentuh akar masalah.

Hoaks Lahir dari Lubang Kepercayaan yang Semakin Lebar

Bantahan pemerintah terhadap isu pemotongan gaji justru mengungkap sebuah realitas pahit: hoaks tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari lubang kepercayaan yang semakin menganga lebar. Masyarakat sudah skeptis terhadap setiap wacana yang datang dari penguasa, karena pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan yang lahir seringkali memberatkan rakyat kecil. Ketika kepercayaan sudah rusak, setiap informasi—benar atau salah—akan dilihat melalui kacamata kecurigaan. Pemerintah mungkin bisa membantah hoaks, tetapi selama ketidakadilan masih terjadi dan suara rakyat tidak didengar, amonium ketidakpercayaan akan terus bertumbuh dan meledak menjadi krisis legitimasi yang lebih besar.

Viral Bukan Hobi. Viral adalah Perlawanan.

Dalam situasi di mana ruang debat publik didominasi oleh elite yang saling memuji dan melindungi satu sama lain, media sosial menjadi senjata terakhir yang dimiliki rakyat. Ketika parlemen terasa jauh dari desa dan kampung, dan ketika pers mainstream terkadang takut menyentuh nama-nama besar, rakyat menggunakan ponsel mereka sebagai alat perlawanan. Video 47 detik yang viral itu bukan sekadar konten hiburan semata, melainkan bukti dokumenter atas sakitnya republik ini—sebuah pengingat keras bahwa arogansi kekuasaan telah mencapai titik yang tak tertahankan.

Ponsel Sebagai Senjata Terakhir Rakyat

Ponsel pintar yang sehari-hari digunakan untuk bekerja dan berkomunikasi berubah menjadi senjata pembuka tabir yang selama ini menutupi realitas pahit. Rakyat biasa—yang selama ini hanya menjadi penonton dalam panggung politik—kini menjadi jurnalis warga yang merekam, arsiparis yang mengumpulkan bukti, dan aktivis digital yang menyebarkan kesadaran kritikal. Setiap share, like, dan komentar adalah bentuk perlawanan pasif terhadap hegemoni kekuasaan yang mencoba membungkam suara mereka. Inilah wajah baru demokrasi di era digital—di mana rakyat biasa mengambil alih narasinya dan menolak untuk dijadikan figuran dalam drama politik elite.

Fakta atau Hoaks? Pemotongan 3% dan Mitos Dana Kebaikan Elite

Di tengah kemarahan publik yang memuncak akibat pernyataan arogansi pejabat, muncul ancaman baru yang semakin memanaskan situasi: wacana pemotongan gaji pekerja sebesar 3%. Beredar kabar bahwa pemotongan ini akan diterapkan pada pekerja berpenghasilan UMR, bukan untuk membayar gaji pejabat, bukan untuk perbaikan infrastruktur, melainkan untuk sebuah dana kebaikan yang namanya saja masih samar—apakah itu Tapera, JKP, atau program baru bernama "Dana Kebaikan Para Elite"? Netizen pun langsung bereaksi dengan sinis, "Baru dihina, sekarang mau dipotong gaji? Gue kerja buat bayar lo atau lo kerja buat gue?"

Asal-Usul Hoaks: Program Tapera yang Disalahpahami

Faktanya, tidak ada kebijakan resmi yang menyatakan bahwa gaji UMR akan dipotong 3% secara sepihak. Namun, di balik kabar tersebut, terdapat benih kebenaran yang dibiarkan tumbuh liar. Benih itu bernama Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), sebuah program yang diluncurkan sejak 2021 dan mengamanatkan iuran sebesar 2,5%–3% dari gaji, yang ditanggung bersama antara pekerja dan pengusaha. Namun, ada catatan penting: program ini tidak wajib bagi pekerja dengan gaji di bawah UMR, dan peserta bisa mendaftar secara sukarela, terutama untuk mengakses rumah murah. Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan telah berulang kali mengklarifikasi bahwa tidak ada rencana pemotongan wajib gaji UMR.

Wacana = Senjata Massal di Tengah Ketidakpercayaan

Mengapa kabar ini bisa meledak begitu cepat? Jawabannya terletak pada krisis kepercayaan yang telah lama mengakar. Bagi buruh pabrik di Bekasi yang bergaji Rp3,8 juta, dengan pengeluaran bulanan yang nyaris menyentuh angka gaji—Rp300 ribu untuk kontrakan, Rp200 ribu untuk listrik dan air, Rp500 ribu untuk makan, Rp150 ribu untuk transportasi—kabar pemotongan 3% langsung ditafsirkan sebagai penderitaan baru. Mereka tidak akan langsung mengecek situs resmi Kemnaker; yang ada, mereka langsung merasa, "Lagi-lagi, kami yang harus bayar?". Hoaks tidak lahir dari ketidaktahuan, melainkan dari pengalaman ketidakadilan yang berulang.

Ironi Terbesar: Dana untuk Rakyat, Tapi Dipotong dari Rakyat

Ironi terbesar dalam wacana ini adalah bahwa program seperti Tapera dan JKP justru diciptakan untuk membantu rakyat. Tapera dirancang agar pekerja bisa memiliki rumah, sementara JKP memberikan perlindungan saat pekerja di-PHK. Namun, pelaksanaannya kerap terasa dipaksakan kepada mereka yang paling tidak mampu. Bagi pejabat tinggi atau pengusaha besar dengan gaji puluhan juta, potongan 3% mungkin hanya setara dengan uang parkir sehari. Namun, bagi pekerja UMR, angka tersebut setara dengan 6 bungkus nasi bungkus, 10 liter pertalite untuk ojek online, atau uang jajan anak selama seminggu. Ketika pemerintah menyatakan "ini untuk kebaikan bersama", rakyat hanya bisa tertawa getir: "Kebaikan bersama… untuk yang punya uang. Kami cuma yang bayar."

Klarifikasi Resmi: Tapi Apakah Rakyat Masih Percaya?

Kementerian Ketenagakerjaan telah menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada rencana pemotongan gaji UMR dan menegaskan bahwa program Tapera bersifat sukarela bagi pekerja berpenghasilan rendah. BPJS Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa iuran Tapera tidak boleh membebani pekerja upah rendah dan bahwa prioritasnya adalah perlindungan, bukan pemaksaan. Namun, pernyataan resmi ini datang terlambat; kepercayaan publik telah rusak terlebih dahulu. Rakyat sudah merasa dianggap bodoh dan diperlakukan sebagai sapi perah negara. Meski hoaks dapat dibantah, akar kemarahan dan kekecewaan rakyat tetap nyata dan terus membara.

Gaji Naik untuk Pejabat, Tapi Guru Honorer Masih Nunggak Gaji 6 Bulan

Gaji Naik untuk Pejabat, Tapi Guru Honorer Masih Nunggak Gaji 6 Bulan
Ilustrasi: Gaji Naik untuk Pejabat, Tapi Guru Honorer Masih Nunggak Gaji 6 Bulan. @Ai

Dua Dunia, Satu Negara: Kesenjangan yang Menyakitkan

Sementara rakyat kecil diguncang isu pemotongan gaji, di ruang-ruang berpendingin udara, gaji ASN justru mengalami kenaikan. Kenaikan ini dinikmati oleh mereka yang sudah digaji jutaan rupiah, dengan berbagai tunjangan dan fasilitas mewah. Mereka yang makan siang di kantin khusus, bukan di warung tenda pinggir jalan.

Di sisi lain, di ujung desa, di sekolah terpencil, di ruang kelas bocor, guru honorer menunggu gaji yang tak kunjung datang—sudah 6 bulan. Tidak ada kenaikan, tidak ada tunjangan, tidak ada apresiasi. Hanya janji yang terus ditunda: "Nanti, Pak/Bu. Anggaran sedang diproses."

Ini bukan lagi sekadar ketimpangan ekonomi, melainkan gambaran dua negara yang berbeda dalam satu bendera yang sama.

Guru Honorer: Pahlawan yang Dikubur Birokrasi

Mari kita bicara soal guru honorer secara khusus. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang mengajar anak-anak bangsa, membimbing generasi penerus, dan hadir setiap hari meski seringkali tidak digaji tepat waktu. Mereka tetap masuk mengajar meski listrik sekolah mati, atap bocor, dan spidol habis.

Namun kenyataannya? SK mereka tidak kunjung turun, anggaran daerah macet, dan pemerintah pusat与daerah saling lempar tanggung jawab. Hasilnya? Guru honorer di Sumedang, Lombok, Papua—masih menunggak gaji 6 bulan. Ada yang sampai harus menjual motor, pinjam ke rentenir, atau menangis diam-diam di rumah.

Pengabdian mereka dikubur dalam kubangan birokrasi yang tidak memihak rakyat kecil.

Ironi: Mereka yang Dianggap "Jelata" Justru Penjaga Republik

Kita semua tahu siapa yang benar-benar menjaga negeri ini: Bukan pejabat yang hanya datang saat kampanye, bukan elite yang bicara dari podium tinggi. Penjaga republik yang sebenarnya adalah guru yang tetap mengajar meski tak digaji, petani yang panen padi meski harga gabah anjlok, ojek online yang narik di tengah hujan demi bayar kontrakan, dan perawat yang kerja 12 jam tanpa lelah.

Merekalah pahlawan tanpa tanda jasa, tulang punggung bangsa, dan rakyat yang sebenarnya. Namun ironisnya, mereka justru disebut "jelata" oleh para pejabat yang seharusnya melayani mereka.

Sejak kapan menjaga republik menjadi hal yang rendah? Sejak kapan mengabdi tanpa pamrih menjadi tanda kebodohan? Sejak kapan harga diri diukur dari gaji, bukan dari pengabdian?

Naik Gaji, Tapi Turun Hati: Simbol Republik yang Jauh dari Rakyat

Jangan heran kalau rakyat marah. Jangan heran kalau netizen mengamuk. Jangan heran kalau tagar #RakyatBukanJelata menjadi trending. Kenaikan gaji ASN di tengah kelumpuhan gaji guru honorer bukan sekadar kebijakan, melainkan simbol bahwa republik ini semakin jauh dari rakyatnya.

Kita tidak menolak kenaikan gaji, tetapi tolong, jangan naikkan gaji sambil merendahkan martabat rakyat. Jika harus ada kenaikan, naikkan dulu gaji guru honorer. Bayar dulu yang sudah 6 bulan menunggu. Lalu, kalau masih ada anggaran—silakan naikkan gaji pejabat.

Dengan satu syarat: "Jangan lupa, Anda digaji oleh rakyat yang Anda sebut 'jelata'."

Kami Bukan Jelata. Kami Berdaulat.

Kami Bukan Jelata. Kami Berdaulat.
Kami Bukan Jelata. Kami Berdaulat. @Ai

Rakyat Bukan Spesies Lain, Rakyat Adalah Republik

Jika hari ini seorang pejabat berkata: "Jangan bandingkan kami dengan rakyat jelata," maka izinkan kami menjawab dengan suara yang tidak bisa dibungkam oleh AC 18 derajat, oleh jet pribadi, atau oleh rapat tertutup di lantai 15: Kami bukan jelata. Kami adalah rakyat yang memilih kalian, membayar pajak kalian, dan sabar melihat janji yang hanya jadi bahan kampanye.

Kami bukan latar belakang foto kalian, bukan statistik dalam laporan tahunan, bukan beban anggaran. Kami adalah tuannya negara ini. Kalau kalian merasa terlalu tinggi, terlalu mulia, terlalu suci untuk disamakan dengan kami—maka kalian sudah terlalu jauh dari bumi yang kalian injak.

Di negeri ini, presiden naik motor, wakil rakyat naik angkot, pejabat makan nasi bungkus—bukan karena miskin, tapi karena mereka masih merasa satu tanah dengan rakyatnya. Namun kini? Ada yang bicara dari menara gading, merasa terlalu tinggi untuk turun, dan lupa bahwa kursi empuk itu bukan hak, tapi amanah.

Kekuatan Kami: Suara, Kotak Suara, dan Ingatan yang Panjang

Kami tahu, kalian merasa kuat dengan kekuasaan, fasilitas, dan pasukan pengawal. Tapi kami punya kekuatan yang lebih besar: suara, kotak suara, amarah yang terkumpul diam-diam, dan ingatan yang panjang.

Rakyat tidak buta. Rakyat hanya menunggu. Menunggu saat yang tepat untuk berkata: "Kami sudah cukup sabar. Sekarang giliran kalian mendengar." Kekuatan kami tidak terletak pada kekerasan atau kekacauan, melainkan pada kesabaran dan keteguhan untuk memperjuangkan hak-hak kami.

Setiap pemilihan umum adalah pengingat bahwa kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Setiap suara yang kami berikan adalah cerminan kepercayaan yang bisa dicabut kapan saja ketika pemegang amanah lalai menjalankan tugasnya.

Ini Bukan Ancaman, Ini Pengingat untuk Para Penyandang Amanah

Kami tidak ingin kekacauan. Kami tidak ingin kekerasan. Kami hanya ingin rasa hormat, keadilan, dan pejabat yang merasa satu darah dengan kami. Ini bukan ancaman, melainkan pengingat bagi para penyandang amanah untuk kembali kepada khittahnya.

Kami menuntut dihentikannya pernyataan yang merendahkan dan kebijakan yang membebani. Kami meminta para pemimpin untuk mendengar suara dari bawah—bukan dari laporan di PowerPoint, tapi dari warung kopi, dari halaman sekolah, dari trotoar, dari desa terpencil.

Karena di negeri ini, rakyat bukan jelata, bukan beban, bukan objek. Rakyat adalah republik, rakyat adalah hukum, rakyat adalah tuannya. Dan suatu hari nanti, jika kalian terus lupa, kami akan mengingatkan—dengan cara yang tidak kalian inginkan.

Penutup: Untuk Guru Honorer, Ojol, Buruh, dan Petani

Kalian Bukan Jelata. Kalian adalah Indonesia yang Sebenarnya.

Artikel ini dibuat khusus untuk guru honorer yang belum digaji, untuk ojek online yang narik hujan-hujanan, untuk buruh pabrik yang lembur demi anaknya sekolah, untuk petani yang panen padi tapi makan nasi saja mikir dua kali.

Kalian bukan jelata. Kalian adalah Indonesia yang sebenarnya—wajah bangsa yang sesungguhnya, tulang punggung perekonomian, dan penjaga nilai-nilai keutuhan republic.

Di pundak kalianlah masa depan bangsa ini ditumpukan. Dalam setiap tetes keringat yang mengalir, dalam setiap doa yang dipanjatkan, dalam setiap pengorbanan yang tidak terlihat, terukir makna sebenarnya dari kata "perjuangan".

Jangan pernah merasa rendah. Jangan pernah berhenti bersuara. Jangan pernah lupa bahwa kalian adalah pemilik sah negeri ini. Kalian bukan jelata. Kalian adalah rakyat berdaulat yang memiliki kekuatan untuk mengubah nasib bangsa ini menjadi lebih baik.

Kupang Digital
Kupang Digital Blog Kupang Digital - East Nusa Tenggara

Post a Comment