Pencuri Ubi Dibakar ASN di Deli Serdang: Potret Gelap Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Table of Contents
Pencuri Ubi Dibakar ASN di Deli Serdang
Pencuri Ubi Dibakar ASN di Deli Serdang

Deli Serdang – Tragedi memilukan kembali mencoreng wajah hukum Indonesia. Seorang remaja berusia 18 tahun, Andika, dibakar hidup-hidup oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya karena dituduh mencuri dua karung ubi di Desa Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Peristiwa yang terjadi pada awal Agustus 2025 itu bukan sekadar aksi kriminal, melainkan gambaran nyata betapa hukum di negeri ini masih sering tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ironisnya, pelaku utama justru seorang ASN dari Dinas Pendidikan Deli Serdang, sosok yang seharusnya menjadi teladan moral di masyarakat.

Publik pun geram. Media sosial dipenuhi kecaman. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana mungkin pencurian kecil dengan nilai ekonomi rendah dibalas dengan hukuman sekejam pembakaran hidup-hidup? Dan apakah hukum benar-benar bisa berlaku adil terhadap pelaku yang punya status pegawai negeri?

Kronologi Lengkap Kasus Pencuri Ubi Dibakar ASN di Deli Serdang

Kronologi Lengkap Kasus Pencuri Ubi Dibakar ASN di Deli Serdang
Kronologi Lengkap Kasus Pencuri Ubi Dibakar ASN di Deli Serdang

Kasus pencuri ubi dibakar ASN di Deli Serdang bermula ketika Andika (18) dan seorang pria bernama Jepri dituduh mencuri dua karung ubi milik kelompok tani di Desa Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Alih-alih diselesaikan secara kekeluargaan, peristiwa ini berubah menjadi tragedi kemanusiaan.

Berdasarkan keterangan saksi dan laporan kepolisian, inilah kronologi kejadiannya:

1. Pemanggilan ke Balai Dusun

Kepala Dusun setempat memanggil Andika dan Jepri untuk menyelesaikan dugaan pencurian. Keduanya hadir tanpa perlawanan, berharap kasus bisa diselesaikan secara musyawarah.

2. Pemukulan Terhadap Korban

Setibanya di balai dusun, keduanya malah dipukuli. Salah satu tersangka, AMR, yang juga ketua kelompok tani, diduga menjadi orang pertama yang melakukan tindak kekerasan.

3. Munculnya ASN HR

Tak lama kemudian, HR — seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Pendidikan Deli Serdang — datang ke lokasi. Bukannya menengahi, HR justru mengambil tindakan brutal yang melampaui batas kemanusiaan.

4. Penyiraman Bensin dan Pembakaran

Dengan alasan “memberi pelajaran”, HR menyiramkan bensin ke tubuh Andika. Dalam sekejap, api dinyalakan. Tubuh remaja itu terbakar, membuat suasana panik.

5. Korban Menderita Luka Bakar Serius

Jeritan Andika terdengar memilukan. Api melahap sebagian tubuhnya — wajah, dada, dan tangan mengalami luka bakar parah. Warga yang menyaksikan baru berusaha memadamkan api setelah tubuh korban gosong terbakar.

6. Evakuasi ke Rumah Sakit

Andika segera dilarikan ke rumah sakit dengan kondisi kritis. Hingga kini, ia masih menjalani perawatan intensif akibat luka bakar yang sangat luas.

Catatan Kritis Jurnalis

Kronologi ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut bukanlah spontanitas, melainkan bentuk main hakim sendiri yang terstruktur. Apalagi, pelaku utama adalah seorang ASN yang justru berperan aktif dalam aksi kejam ini.

Pertanyaan penting pun mengemuka:

  • Mengapa tidak diserahkan ke polisi sejak awal?
  • Mengapa seorang ASN bisa begitu mudahnya melakukan tindakan sadis di depan publik?
  • Apakah budaya “mengadili sendiri” sudah menjadi hal biasa di desa-desa karena hukum formal dianggap lamban dan tidak berpihak?

Kasus ini membuka mata bahwa sistem hukum kita belum sepenuhnya dipercaya masyarakat. Ketika aparat negara yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi eksekutor, maka citra hukum Indonesia kembali tercoreng di mata publik.

Identitas dan Status Hukum Pelaku Kasus Pencuri Ubi Dibakar ASN

Polres Deli Serdang bergerak cepat menindaklanjuti kasus pencuri ubi dibakar ASN yang terjadi di Desa Percut Sei Tuan. Dari hasil penyelidikan, dua orang ditetapkan sebagai tersangka utama:

1. HR – ASN Dinas Pendidikan (Pelaku Pembakaran)

HR diketahui berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dinas Pendidikan Deli Serdang. Ironisnya, HR yang seharusnya berfungsi sebagai abdi negara justru menjadi pelaku utama pembakaran. Aksi brutalnya menyiram bensin dan menyalakan api di tubuh Andika menjadi bukti keterlibatan langsung yang tidak terbantahkan.

2. AMR – Tokoh Masyarakat/Ketua Kelompok Tani (Pelaku Pemukulan)

Selain HR, polisi juga menetapkan AMR, tokoh masyarakat sekaligus ketua kelompok tani setempat, sebagai tersangka. AMR diduga menjadi orang pertama yang memukul korban saat proses mediasi di balai dusun berlangsung. Tindakannya memperparah intimidasi yang berujung pada tragedi.

3. Status Hukum Keduanya

Kepolisian resmi menetapkan HR dan AMR sebagai tersangka. Beberapa barang bukti seperti jeriken berisi bensin, korek api, dan pakaian korban telah disita sebagai alat bukti. Meski begitu, publik masih menaruh curiga: apakah proses hukum akan berjalan transparan dan memberikan keadilan, atau justru berakhir dengan keringanan hukuman karena status sosial pelaku?

Catatan Kritis

Penetapan status tersangka terhadap HR dan AMR memang langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, masyarakat masih meragukan konsistensi aparat penegak hukum. Publik bertanya-tanya:

  • Apakah HR akan benar-benar dihukum berat meski berstatus ASN?
  • Apakah ini akan menjadi kasus hukum yang diselesaikan secara adil, atau hanya formalitas untuk meredam kemarahan publik?

Dalam banyak kasus serupa di Indonesia, sering kali hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Karena itu, kasus ini menjadi ujian besar bagi aparat: apakah benar-benar berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu?

Hukum “Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas”

Hukum “Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas”
Hukum “Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas”

Kasus pencuri ubi dibakar ASN di Deli Serdang kembali mengingatkan publik pada adagium klasik: hukum di Indonesia sering kali tajam ke bawah, tumpul ke atas. Untuk kasus pencurian kecil, hukuman sosial dan kekerasan begitu kejam. Sementara pelaku korupsi dengan kerugian miliaran rupiah justru kerap mendapat keringanan atau bebas dengan mudah.

Negara Seharusnya Melindungi, Bukan Melukai

Konstitusi menegaskan bahwa negara hadir untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Namun, tragedi ini menunjukkan sebaliknya. Alih-alih melindungi warganya yang masih berstatus “terduga” pelaku pencurian, seorang abdi negara justru berperan sebagai eksekutor. Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan dan negara hukum.

ASN yang Melanggar Sumpah Jabatan

Sebagai ASN, HR seharusnya menjunjung tinggi sumpah jabatan: bekerja profesional, mengabdi kepada rakyat, dan menjaga marwah hukum. Namun, aksinya menyiram bensin dan membakar seorang remaja membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang moral. Tindakannya bukan hanya kejahatan pidana, tapi juga pelanggaran etika dan pengkhianatan terhadap sumpah jabatan.

Trauma di Masyarakat

Peristiwa ini menimbulkan trauma mendalam, terutama bagi warga sekitar. Ketidakmampuan aparat mencegah aksi main hakim sendiri melahirkan rasa takut bahwa siapa pun bisa menjadi korban berikutnya.

Krisis Kepercayaan terhadap Negara

Publik makin kehilangan kepercayaan pada aparat dan birokrasi. Bagaimana rakyat bisa percaya pada negara jika orang yang digaji dari uang pajak justru menjadi pelaku kekerasan? Kasus ini memperlebar jurang ketidakpercayaan antara rakyat kecil dengan pemerintah.

Efek Politik Nasional

Kasus ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik nasional. Saat bangsa gencar merayakan kemerdekaan dan mengumandangkan nilai Pancasila, justru ada ASN yang bertindak seolah hukum bisa diganti dengan bensin dan api. Situasi ini memperkuat kritik terhadap pemerintah yang dinilai gagal menegakkan prinsip keadilan sosial.

Transparansi Penegakan Hukum

Masyarakat menuntut agar proses hukum terhadap HR dan AMR dilakukan secara terbuka dan transparan. Tidak boleh ada intervensi, apalagi perlakuan khusus karena status sosial pelaku.

Hukuman Setimpal

Publik menginginkan hukuman maksimal, termasuk kemungkinan jerat pasal pembunuhan berencana. Tuntutan ini lahir dari kesadaran bahwa tindakan HR bukan sekadar emosi sesaat, tetapi aksi yang disengaja dan disaksikan banyak orang.

Perlindungan terhadap Rakyat Kecil

Kasus ini juga menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera memperbaiki sistem perlindungan hukum bagi rakyat kecil. Jika tidak, kasus-kasus main hakim sendiri akan terus berulang dengan korban berikutnya.

Kasus pencuri ubi dibakar ASN di Deli Serdang adalah potret gelap wajah hukum Indonesia. Seorang remaja dibakar hidup-hidup hanya karena tuduhan mencuri ubi, sementara pelakunya adalah seorang ASN—abdi negara yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan.

Peristiwa ini tidak boleh berhenti sebagai berita viral. Ia harus menjadi momentum perubahan: hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, aparat harus berani melindungi rakyat kecil, dan ASN harus kembali pada sumpah jabatannya.

Sebagai bangsa yang merdeka, kita tidak boleh lagi membiarkan adagium “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” menjadi kenyataan sehari-hari. Karena jika keadilan hanya berpihak pada yang berkuasa, maka kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun hanyalah ilusi.

Kupang Digital
Kupang Digital Blog Kupang Digital - East Nusa Tenggara

Post a Comment