SISWA MEROKOK DIMAAFKAN, KEPALA SEKOLAH YANG DIHUKUM

Table of Contents
SISWA MEROKOK DIMAAFKAN, KEPALA SEKOLAH YANG DIHUKUM
Ilustrasi dilarang atau berhenti merokok. (Foto: Getty Images/iStockphoto/takasuu)


Kupang.eu.org - Jakarta, 18 Oktober 2025.

Gelombang reaksi publik terus bergulir setelah penonaktifan kepala sekolah yang menampar siswa karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah.

Banyak pihak menilai keputusan tersebut tidak adil dan melemahkan wibawa guru serta institusi pendidikan.

Alih-alih menindak tegas siswa pelanggar, kebijakan justru menyasar pendidik yang mencoba menegakkan disiplin.

Guru Menegur, Negara Menghukum

Kejadian bermula ketika seorang kepala sekolah di SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, menegur siswa yang kedapatan merokok di area sekolah.

Siswa tersebut tidak menunjukkan sikap kooperatif, hingga akhirnya sang kepala sekolah menampar ringan pipinya sebagai bentuk teguran keras.

Video insiden itu viral, dan tanpa menunggu penyelidikan tuntas, pemerintah provinsi langsung menonaktifkan sang kepala sekolah.

Keputusan ini memicu reaksi keras dari masyarakat, terutama kalangan pendidik yang menilai “keadilan bagi guru sudah mati”.

Seorang guru senior di Banten bahkan mengatakan,

“Kami ini dituntut mencetak generasi disiplin, tapi begitu bertindak tegas, justru kami yang dihukum.”

Salah Kaprah dalam Menegakkan Aturan

Anggota DPR RI dari Fraksi PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal, turut menyoroti keputusan itu.

Ia menilai kebijakan penonaktifan kepala sekolah justru bisa merusak moral pendidikan nasional.

“Jika guru menegur salah, kepala sekolah menindak juga salah, lalu seperti apa lembaga pendidikan kita ke depan? Apakah guru harus takut menegur siswa yang berbuat salah?” ujar Cucun seperti dikutip dari Kompas.com (16/10/2025).

Cucun menegaskan bahwa tindakan kepala sekolah semestinya dilihat dari niat dan konteksnya, bukan dari potongan video semata.

Menurutnya, penegakan disiplin tidak bisa disamakan dengan kekerasan, apalagi jika dilakukan dalam koridor pendidikan.

Siswa Merokok: Pelanggaran yang Dibiarkan Ringan

Fakta bahwa siswa tersebut merokok di lingkungan sekolah seakan tenggelam dalam narasi media.

Padahal, menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan, siswa yang melanggar tata tertib wajib dikenai sanksi pembinaan dan konseling khusus.

Sayangnya, dalam kasus ini siswa hanya diberi teguran dan tidak ada sanksi lanjutan yang mendidik.

Publik menilai, ini justru memberikan contoh buruk bagi siswa lain bahwa melanggar aturan bisa dimaafkan, asal berani melapor.

Dunia Pendidikan Kehilangan Wibawa

Fenomena ini memperlihatkan gejala serius dalam dunia pendidikan: otoritas pendidik mulai kehilangan makna.

Guru dan kepala sekolah kini harus berhati-hati dalam menegakkan aturan, karena risiko hukuman administratif atau sosial bisa datang kapan saja.

Padahal, tanpa ketegasan, pendidikan akan kehilangan arah moralnya.

“Sekolah bukan tempat untuk memanjakan pelanggaran, tapi tempat untuk membentuk karakter,” ujar seorang praktisi pendidikan di Jakarta, Sabtu (18/10).

Seruan untuk Evaluasi Kebijakan

Banyak kalangan mendesak agar keputusan penonaktifan kepala sekolah segera ditinjau ulang.

Kementerian Pendidikan dan pemerintah daerah diminta tidak hanya mendengar opini publik yang viral, tapi melihat substansi kasus dengan jernih: siapa sebenarnya yang melanggar aturan - siswa atau guru?

Langkah lebih bijak seharusnya:

1. Mengembalikan kepala sekolah ke posisinya setelah klarifikasi resmi.

2. Memberikan sanksi edukatif dan pembinaan kepada siswa yang merokok.

3. Membangun sistem pembinaan disiplin di sekolah yang kuat tanpa menunggu kejadian viral.

Kesimpulan

Kasus ini seharusnya menjadi refleksi, bukan hukuman sepihak.

Kepala sekolah yang menegakkan disiplin tidak pantas dicap pelaku kekerasan, sementara siswa yang merokok dibiarkan dengan alasan “masih anak-anak.”

Jika setiap guru takut menegur, maka generasi muda akan tumbuh tanpa batas.

Dan bila penegak disiplin selalu disalahkan, maka pendidikan di Indonesia bukan lagi ruang pembentukan karakter, melainkan sekadar tempat mencari nilai.

Kupang Digital
Kupang Digital Blog Kupang Digital - East Nusa Tenggara

Post a Comment